Lombok Utara (Suara Selaparang) – Alunan suara gamelan telah ditabuh satu hari satu malam lamanya. Tabuhan ini menandakan prosesi ritual Adat Namain oleh masyarakat Adat Wet Batu Gembung sedang berlangsung.
Masyarakat adat pun mulai memadati rumah Adat yang terletak di tengah kampung, tak jauh dari Masjid Kuno Batu Gembung.
Prosesi Adat Namain cukup panjang.
Proses pertama ialah membangar gubuk. Membangar gubuk merupakan proses adat yang bertujuan untuk membesihkan kampung dengan memanjatkan doa keselamatan kepada tuhan yang maha kuasa, tujuannya tidak lain agar terhindar dari Bala’ atau mara bahaya yang akan menimpa kampung maupun jiwa raga masyararakat.
Proses berikutnya Begundem. Begundem merupakan musyawarah besar untuk menentukan hari pelaksanaan Adat Namain.
Bagi masyarakat adat Wet Batu Gembung, Namain merupakan ritual adat yang sangat sakral, sehingga ritual ini selalu rutin dilakukan satu kali setiap tahun.
Sebab, Adat Namain merupakan ritual adat sebagai ucapan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas keberkahan alam, kelimpahan rezeki setelah masa panen serta permohonan rezeki pada tahun yang akan datang.
Tanggal pelaksanaan Adat Namain sesuai kalender adat.
Penanggalannya sama dengan kalender Isam. Namain dilakukan setelah lebaran Qurban. Biasanya dilaksanakan pada hari Senin, Salasa, dan puncaknya pada hari Rabu.
“Tujuan Adat Namain menurut orang tua kita dahulu mengatakan Ula Kaya Taon Siq Liwat, Nunas Rezeki Taon Datang (ucapan rezeki tahun sebelumnya, dan meminta rezeki tahun berikutnya),” tutur Marzuki (59) selaku tokoh adat bayan Wet Batu Gembung, Jumat, 9 Februari 2024.
Prosesi akhir Ritual Adat Namain dilakukan di Hutan Adat Pawang Tenaun/Tenun.
Untuk diketahui, Mangku adalah orang yang memiliki peran yang signifikan dalam ritual Adat Namain, Mangku bertugas sebagai orang yang memandu jalannya ritual Adat Namain Wet Batu Gembung.
Kemudian, Pemekel adalah seorang yang bertugas untuk menjalankan awiq-awiq/hukum adat yang berlaku. Serta Toak Lokak adalah
Hutan Adat Pawang Tenun.
Letak Hutan adat Pawang Tenun berada di Dusun Pawang Tenun, Desa Andalan, Kecamatan Bayan, Kabupaten Lombok Utara.
Hutan Adat Pawang tenun berjarak 77 Km dari Mataram. Dengan jarak tempuh 2 jam 4 menit menggunakan kendaraan roda empat.
Jarak hutan adat dari dusun Batu Gembung adalah 7 km. Untuk menuju lokasi hutan Adat Pawang Tenun di tempuh selama 40 menit hingga 1 jam dengan jalan kaki.
Hutan adat Pawang Tenun didiami oleh 119 kepala keluarga, namun masyarakat adat yang terikat oleh Adat Namain tersebar di tiga dusun. “Dusun Batu Gembung, Dusun Batu Jingkiran dan Dusun Pawang Tenun,” sebut Marzuki.
Sebagai informasi, kondisi terkini hutan adat Pawang Tenun sangat lebat. Di kawasan hutan masih dipenuhi pepohonan yang rapat dan menjulang tinggi dengan dedaunan yang rapat.
Cahaya matahari sulit menembus pawang tenun, sehingga menciptakan suasana yang gelap dan misterius. Bunyi burung-burung berkicau menciptakan suasana asri di hutan adat Pawang Tenun. Tanah pawang tenun banyak ditumbuhi tanaman liar menampakkan keanekaragaman hayati yang kaya.
Jika ingin masuk ke kawasan hutan, masyarakat harus meminta izin kepada mangku. Kemudian mangku akan melakukan ritual kecil yang disebut Sembek. Sembek merupakan penanda bagi tamu yang memasuki kawasan adat, termasuk hutan adat. Seteleah disembek, mangku akan memandu masuk ke hutan adat Pawang Tenun.
Di kawasan hutan adat pawang tenun, masyarakat adat Batu Gembung telah membuat berbagai Awiq-awiq yang tidak boleh dilanggar. Awiq-awiq ialah hukum adat yang berlaku di masyarakat adat. Ada 7 awiq-awiq yang mengatur larangan di hutan adat. Salah satunya, dilarang menebang pohon di hutan adat.
Bila masyarakat adat melanggar larangan, maka akan dikenakan sanksi adat. salah satu yang terberat adalah, akan diasingkan oleh masayarakat adat.
“Jika pelanggarannya berat maka akan dikeluarkan dari komunitas adat, serta tidak akan diterima menjadi anak adat oleh semua komunitas adat lain di seluruh komunitas masyarakat adat Bayan,” jelas Marzuki.
Meski awiq-awiq tak tertulis seperti undang-undang, masayarakat tunduk terhadap aturan tersebut.
“Demi menjaga kelestarian hutan,” katanya.
Ancaman Hutan Pawang Tenun
Riwayat konflik pengelolaan hutan pernah terjadi disekitar hutan adat Pawang Tenun. Konflik terjadi sejak lama. pada masa pemerintahan Belanda sekitar tahun 1930-an. Kala itu, Pemerintah Belanda menetapkan batas hutan yang disebut Gegemuk.
Gegemuk adalah gundukan tanah yang diameternya kira-kira 1 meter. Pada tahun inilah cikal bakal maraknya ilegal loging, dan perambahan hutan. Terlebih posisinya saat itu adalah sebagai hutan produksi.
Kemudian pada tahun 1965 Masa Orde Lama, beberapa masayarakat sudah melakukan kegiatan perladangan di kawasan hutan. termasuk disekitaran hutan adat Pawang Tenun.
Bahkan pada tahun 2007-2008, ada hutan adat yang hilang akibat dialih fungsikan menjadi ladang. Dalam catatan buku yang berjudul Resolusi Konflik di KPH yang terbitt pada tahun 2012 mencatat, kawasan hutan di dusun Pawang Timpas pernah ada hutan adat Pawang Rumbeh. Masyaakat adat setempat pernah melakukan kegiatan ritual adat di hutan adat Pawang Rumbeh.
Namun sejak tahun 2007, upacara ritual tidak dilakukan lagi karena hutan adat Pawang Rumbeh dijadikan ladang. Hutan adat Pawang Rumpeh dan Pawang Tenun berada di kawasan hutan yang sama, yaitu kawasan hutan Desa Akar-akar. Artinya kawasan ini cukup berdekatan, sama seperti hutan Adat Pawang Tenun dan hutan Adat Sembagek yang jaraknya 1-3 km.
Dahulu, masyarakat adat Wet Batu Gembung merupakan bagian dari wilayah Desa Akar-akar, Kecamatan Bayan, Kabupaten Lombok Utara. Namun kini sudah ada pemekaran desa. Sehingga Wet Batu Gembung masuk menjadi bagian dari Desa Andalan.
Sebagai informasi, Kawasan hutan di desa Akar-akar di perkirakan mencapai 624 Ha atau kurang lebih 12,73 % dari luas desa. Hampir seluruhnya hutan di Desa Akar-akar merupakan Hutan Produksi (HP). Kemudian, melalui Perdes No. 2 Tahun 2011, Pemerintah Desa menetapkan hutan disekitar dusun Batu Jingkiran dan Batu Gumbung sebagai Hutan Adat Pawang Tenun dengan luas ± 9 Ha.
Sebagian hutan di dusun Batu Jingkiran juga masuk dalam kawasan hutan tanaman industri (HTI) PT. Sedana Arif Nusa (SAN) akan tetapi belum diketahui tapal batas yang pasti. Dalam laporan Dinas Kehutanan NTB, vegetasi HTI PT. SAN anatara lain sonokling, mahoni,gamelina, dan akasia.
Ironinya, saat menjadi bagian Desa Andalan, belum ada regulasi yang mengatur tentang pengakuan terhadap hutan adat Pawang Tenun. Sehingga hal ini dapat berpotensi terhadap hilangnya hutan adat. Terlebih lagi, kawasan hutan disekitaran Hutan Adat Pawang tenun masih masuk menjadi kawasan HTI PT.Sedana Arif Nusa.
“Kami belum punya regulasi terkait hutan adat, tapi ini menjadi pengingat kami,” ujar Amirudin Sekretaris Desa Andalan, Jumat, 9 Februari 2024.
Keberadaan hutan adat Pawang Tenun dalam kawasan HTI PT. SAN menjadi potensi ancaman yang sangat besar , sebab akan dapat menjadi bom waktu, yang akan merenggut hutan adat Pawang Tenun oleh pemilik hak kawasan.
Namun pemerintah desa belum menyadari akan bahaya tersebut, sebab pihaknya meyakini masyarakat sekitar tidak berani mengambil kawasan hutan adat, takut kena sanksi adat.
“Kami akan berupaya agar ada dasar legalitas hutan adat ini,” pungkasnya.
Lain sisi, Marzuki selaku tokoh adat, justru menyadari ancaman hutan adat. Pihaknya menyadari saat menghadiri pertemuan masayarakat adat nasional tahun 2022 di Jakarta. Ia banyak mendengar cerita dari komunitas adat lainnya di Indonesia tentang hutan adat diambil alih oleh pemilik hak guna lahan, bahkan diambil oleh pemerintah sendiri dengan dalih investasi.
“Kalau dari masyarakat kami yakin tidak ada yang berani, tetapi ancaman dari luar pasti ada. Dulu kami bersama NGO/LSM pernah mengupayakan alas hak itu, tapi sampai saat ini belum ada kabarnya (Hilang),”sambungnya.
Dia juga menceritakan banyaknya hutan adat yang hilang di wilayah Lombok Utara. Belum diketahui pasti enyebab hilangnya hutan tersebut. Namun dugaannya hutan adat hilang karena dialih fungsikan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab.
“Banyak pawang-pawang yang sudah hilang, misalnya pawang Akar-akar, Pawang Rubeh, Pawang Timpas, Pawang Gunjan, Pawang Selangu,” bebernya.
Sementara itu, ketersediaan ruang terbuka hijau di Kabupaten Lombok utara saat ini berjumlah 0.00012 km, jumlah ini sangat jauh berbeda dari ketentuan 30% RTH dari luas wilayah. Lebih-lebih dengan hilangnya hutan adat tersebut semakin menambah ketersedian ruang terbuka hujau di Kabupaten Lombok Utara.
Perubahan Iklim dan Pentingnya Adat Namain
Dampak perubahan iklim dapat dirasakan bersama. Cuaca panas, minimnya udara bersih, curah hujan berkurang.
Lantas bagaimana dengan di komunitas adat Batu Gembung yang memiliki ritual Adat Namain?
Haerul Fajri (26) salah satu pemuda dari komunitas adat Batu Gembung. Ia menceritakan tentang dampak dari perubahan iklim yang dirasakan saat ini oleh ririnya ataupun masyarakat adat Batu Gembung.
Pria yang menjadi penggerak pemuda dalam adat namain ini membeberkan, saat ini di desa adat cuacanya sangat panas. Belum lagi musim hujan tak menentu turunnya. Sehingga mengakibatkan banyak masayarakat salah waktu dalam menanam di ladang.
Lebih lanjut Fajri, dahulunya, komoditas tanaman pangan yang banyak ditanam oleh masyarakat adat batu gembung adalah padi gogo. Namun kini telah beralih. “Saya tidak tahu pasti kapan peralihannya. Dahulunya lebih banyak menam padi, daripada menanam singkong seperti saat ini,” ujar Fajri saat ditemui Mingu, 25 Februari 2024 di Dusun Batu Gembung, Bayan, Lombok Utara.
Fajri mengaku tidak tahu pasti penyebab perubahan iklim yang terjadi saat ini, namun Ia menduga hal ini terjadi akibat dari berkurangnya fungsi hutan.
“Pohon sudah jarang, pembangunan tambak udang marak, akhirnya ya begini kondisinya,” katanya sembari menggerutu merasakan kondisi saat ini.
“Pohon-pohon besar saat ini hanya tersisa di Hutan Adat, sama di taman nasional mungkin, termasuk yang ada di hutan kami (Pawang Tenun),” imbuhnya.
Sementara itu, Marzuki juga menceritakakan, pada masa lampau, padi gogo hasil dari berladang cukup banyak. Namun kini dirinya tak menanam padi gogo. Dia beralih menanam jagung dan singkong dengan metode tumpang sari.
Kata dia, untuk menanam padi gogo, dibutuhkan ketersediaan air yang cukup, setidaknya hujan harus turun selama 5 bulan berturut-turut. “Kalau dulu kami menenam padi diladang, menaman sorgum. Singkong itu ditanam hanya untuk cemilan saja, tapi kini terbalik, karena hujan hanya sebentar kurang 5 bulan,” ucapnya.
“Jadi singkong jadi tanaman utama sekarang,” terangnya.
Marzuki juga menyadari pentingnya hutan sebagai bagian penting untuk perang melawan perubahan iklim. Oleh karena itulah, Ia bersama masyarakat adat, terus melakukan ritual adat namain.
“Karena hutan dapat memberikan apa yang kita minta, misalnya kalau hutan bagus, pasti air melimpah, udara bersih dan lingkungan akan asri, tapi kalau rusak, ya pasti kondisi seperti sekrang ini kita alami,” tambah Marzuki.
Lebih jauh, Dia mengakui betapa hutan adat yang tersisa kini sangat penting. “Hutan itu adalah ibu bagi masyarakay Wet Batu Gembung,”
“Kalau adat namain tidak ada, hutan adat ini pasti akan hilang, seperti hutan adat Pawang Rumben, sepengetahuan saya, hutan adat yang masih bagus itu hanya 5. Ada Bayan, Pawang Tenun, Pawang Sembagek, pawang Semokan, hanya ini hutan adat yang saya ketahui, yang lain tidak tahu apakah masih utuh atau sudah hilang,” imbuhnya.
Sejumlah fakta di atas menggambarkan betapa pentingnya ritual Adat Namain untuk menjaga hutan. Umumnya, hutan yang lestari merupakan salah satu bagian dari upaya mencegah perubahan iklim.
Oleh sebab itu, adat namain Wet Batu Gembung dapat menjadi praktik baik dalam menjaga kelestarian hutan, agar hutan tetap lestari. Sehingga hutan adat tersebut dapat menjadi senjata perang melawan perubahan iklim. (SAT )